Kamis, 16 Februari 2012

Aksi Tanam Sejuta Pohon Di G Orak Arik

“Trenggalek lambangnya Gunung. Orang Trenggalek semangat dan karakternya sekokoh gunung, mengakar ke tanah, tak roboh diterjang angin. 
Memberi pertumbuhan pada kehidupan”, ucap pak Prof. Gendut Suprayitno dalam sambutannya. Itu adalah bagian dari seremonial acara Sambutan Aksi Sejuta Pohon di Gunung Orang-Arik Trenggalek.
Pak Gendut menguarikan sambutannya dengan menekankan bahwa manusia adalah bagian dari alam (kosmos) yang seharusnya harus memperhatikan alam.
    Saya jadi terngiang dengan konsep filsafat alam yang pernah saya tulis dalam buku “Pengantar Filsafat Umum” (dimana Pak Gendut juga memberikan kata pengantar di buku tersebut). Bencana-bencana alam yang seringkali terjadi adalah tanda bahwa manusia modern telah gagal untuk mengatur keseimbangan lingkungan.
    Sehingga lingkungan alam  justru menjadi ancaman bagi manusia itu sendiri. Kondisi kekacauan lingkungan yang diakibatkan oleh adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi secara historis dan filosofis sesungguhnya berakar pada pandangan  kefilsafatan kapitalisme Barat  yang menempatkan manusia sebagai segala-galanya, sebagai pusat (antroposentrisme). Sehingga dialektikanya dengan alam senantiasa diabaikan.
    Lingkungan tidak dilihat sebagai suatu  bagian dari kemanusiaan, tetapi suatu diluar yang dapat dieksploitasi secara terus-menerus. Hal ini sesuai dengan pernyataan “maitres et possesseurs de la nature” (kita semua adalah tuan-tuan dan pemilik alam semesta), yang diungkapkan Descartes.
     Saya juga ingat seorang filsuf bernama Francis Bacon (1561-1626) yang melahirkan filsafat reduksionis terhadap alam, ia adalah  “nabi” peradaban Barat modern. Ia menekankan kontrol manusia atas alam; alam adalah untuk melayani umat manusia dan untuk kemajuan.
    Sehingga tujuan ilmu pengetahuan adalah untuk menjadi alat bagi kepuasan manusia: “Pengetahuan adalah kekuasaan”. Pemikiran itu dipengaruhi oleh pendekatan positivistik yang memakai keyakinan pada objektivitas dan netralitas pengetahuan ilmiah, yang didasarkan pada dikotomi kaku antara pengamat (subjek) dan yang diamati (objek).
    Akibatnya adalah munculnya prinsip-prinsip yang merasuki para pengamat dan praktisi-praktisi sosial berupa pembagian (division), hirarki, dan penyingkiran (exlusion)—prinsip-prinsip yang membuat penelitian ilmiah bisa diubah menjadi agen kontrol yang sangat bak.
    Eksploitasi  besar-besaran terhadap alam merupakan hasil dari prinsip dan mekanisme hirarki dan penyingkiran yang merasuki mental dan cara berpikir manusia modern.
    Prof. Gendut adalah putra kelahiran Trenggalek yang telah menjadi guru besar di kampus Institut Pertanian Bogor (IPB). Bapak berputra satu kelahiran Sumbergedong ini adalah pengagas acara Aksi Tanam Sejuta Pohon yang ditindaklanjuti oleh Alumni SMAN 1 Trenggalek angkatan 1980.
    Bekerjasama dengan Departemen Kehutanan RI, acara ini terselenggara untuk mendukung program pemerintah dalam rangka melakukan penghijauan kembali hutan (reforestasi) sebagai komitmen pemerintahan RI bersama Negara-negara lain dalam mengatasi masalah pemanasan global.
Indonesia sebagaimana pertemuan KTT Perubahan Iklim di Kopenhagen Denmark beberapa tahun lalu telah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas sebesar 26%.
    Salah satu caranya adalah menggalakkan penanaman pohon yang telah dikampanyekan secara nasional melalui program “One Man One Tree” (OMOT) atau Sak Uwong Sak Uwit (SUSU).
    Alumni Trenggalek nampaknya menyadari betul bahwa sebagai orang-orang yang telah berperan di luar daerah  dengan profesinya masing-masing, mereka harus tetap peduli pada tanah kelahiran.
    Pak Gendut  sebagai Ketua IKAT (Ikatan Keluarga Alumni Trenggalek) Jakarta tampaknya menyadari bahwa Trenggalek juga punya potensi untuk menyumbangkan wilayahnya untuk mendukung program mengurangi emisi gas melalui kegiatan mengerahkan tenaga menanami tanah-tanah yang gundul agar bisa hijau kembali.
    Trenggalek memang dikenal dengan mountainous area dengan jumlah daerah pegunungan 70% (dataran seluas 30%). Ada banyak  gunung yang perlu untuk dirawat dan sebagian dihijaukan kembali.
    Di kecamatan Trenggalek saja ada gunung-gunung yang mau tak mau harus diperhatikan, seperti Gunung Tempel (di desa Ngares), Gunung Ja’as (Ngantru), Gunung Cumbri (Surondakan), Gunung Cilik (Surondakan), Gunung Kucur (Rejiwangun), Gunung Sinawang, Gunung Orak-Arik, dll. Gunung-gunung ini harus dimanfaatkan sebagai penjaga keseimbangan ekosistem, harus dimanfaatkan sebaik mungkin, dirawat, dan dijaga kelestariannya.
    Aksi Tanam Sejuta Pohon ini layak untuk dilakukan lagi. Kalau hari ini yang melakukan adalah alumni SMAN 1 Trenggalek angkatan 1980, selanjutnya menunggu alumni angkatan lain. Bahkan bukan hanya dari SMAN 1 Trenggalek saja yang diharapkan.
    Ada banyak sekolah di Trenggalek, alumninya bisa peduli dengan mengadakan kegiatan positif dengan visi ekologis seperti yang baru saja dilakukan.
    Meskipun kegiatan di Gunung Orak-Arik masih lebih banyak waktu yang terbuang untuk acara seremonial, setidaknya kegiatan ini  bisa menjadi inspirasi bagi kita semua. Sudahkan kita peduli pada bumi Minaksopal?***
Penulis : Nurani Soyomukti (Enes Mukti)
Jurusan Hubungan internasional di SOCIAL AND POLITICS STUDY
Menetap di Trenggalek Jaw Timur

ARSIP BERITA PILIHAN

  © JATIMNET Online ...Berita Investigasi.Wartawan . Jawa Timur

Ke : HALAMAN UTAMA