Sabtu, 18 Februari 2012

Membubarkan Ormas Radikal ?

 
 Oleh : NURANI SOYOMUKTI,
Periset di Patria Institute
Anggota jaringan Sarikat Muda Intelektual Nusantara (SaMIN)
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Islam Blitar (UIB).
------------------------------------------------------------
Ormas (organisasi kemasyarakatan) sebenarnya adalah bagian dari demokrasi karena semakin banyak orang yang berserikat dan berkumpul maka semakin banyak aspirasi dan preferensi dari bawah yang tersalurkan.
    Belajar dari pengalaman dan depolitisasi massa rakyat oleh Orde Baru selama 32 tahun, terbatasnya Ormas memang akan membawa  pada “kematian demokrasi”.
    Kehendak rakyat ditumpulkan, Soeharto dan kroninyapun dengan sesuka hati  menjalankan pemerintahan secara koruptif dan opresif.
    Bukan demokrasi kalau tidak menunjukkan dilemanya. Faset  kebebasan  yang terbuka membuat banyak organisasi massa tumbuh bagai jamur di musim hujan.
    Tetapi apakah kehidupan demokrasi semakin membaik dan kehendak rakyat (dalam makna sejatinya) telah tersalurkan dan dipenuhi?
    Kini pemerintah berencana  menindak organisasi kemasyarakatan (ormas) berhaluan radikal. Kalau yang  dimaksud radikal di sini adalah mereka yang sering melakukan gerakan melanggar hukum seperti tindakan anarkis, intimidasi, perusakan, kekerasan, serta ancaman terhadap pihak lain.
    Maka itu dapat dibaca sebagai bagian dari upaya menegakkan hukum sebagai bagian dari demokrasi itu sendiri.
    Langkah itu memang  perlu segera direalisasikan karena saat ini telah muncul beberapa ormas yang berhaluan radikal dengan menjadikan organisasinya sebagai pemegang dan eksekutor kebenaran absolut.
    Ormas ini menjadikan simbol-simbol primordialitik yang berbau SARA sebagai justifikasi atas berbagai gerakannya.
    Selama pemerintah mengacu pada upaya untuk menindak organisasi yang mempertentangkan erakannya dengan kehidupan multicultural, keberagaman yang tak dapat dibantah sebagai bagian dari realitas ke-Indonesiaan, nampaknya ada muatan pencerahan bagi rakyat.
    Masalahnya, di tengah arus deras globalisasi yang membawa dampak peminggiran kesejahteraan komunitas, gerakan yang mengagungkan kelompok sendiri tidak lagi relevan.
    Pertama-tama, kita butuh solidaritas yang dapat menyatukan berbagai komunitas yang ada yang semuanya terpinggirkan secara ekonomi-politik.
    Kedua, organisasi massa yang hanya menonjolkan sentiment sempit berdasarkan kelompok kesukuan, keagamaan, dan rasial bukan hanya memperlemah kesadaran dan kekuatan rakyat untuk bangkit menghimpun tenaga produktif yang semakin tumpul akibat serangan globalisasi.
    Sentiment sempit dan palsu tersebut justru memundurkan kesadaran dan analisa objektif rakyat untuk melihat masalah dan menyelesaikan persoalan.
    Primus interpares! Itulah prinsip yang digunakan oleh organisasi yang hanya mengunggulkan kelompok dan secara radikal mengarahkan serangannya tanpa pertimbangan objektif.
    Anggota kelompok menganggap dirinya lebih baik dari pada kebanyakan anggota kelompok lain. Yang jelas, ada sebab-sebab historis yang menyebabkan terjadinya keretakan itu, hingga paham monokultural yang berupa semangat yang anti demokrasi seperti sentimen antar suku, agama, dan bangsa semakin meningkat.
    Di dalamnya ada klaim-klaim sempit tentang kebenaran (truth-claims) dan klaim-klaim validitas (validity-claims) yang menyempitkan pengalamannya itu yang menjadi energi dahsyat dalam menjelmakan tragedi dalam hubungan antar manusia.
    Kerap kali agama, ideologi, politik, dan ekonomi, serta rasialisme menyatu membentuk pendefinisian diri, menimbulkan anggapan bahwa yang lain sebagai “mereka” (they, dengan “t” huruf kecil) yang berbeda dengan “Kita” (We, dengan “W” huruf besar).
    Bisa disaksikan meluapnya genangan darah sepanjang sejarah karena berbagai perbedaan yang dipertegas melalui gerakan ormas radikal. Kemesraan hilang, muncul milisi-milisi sipil, bom, dan pedang!
    Akan tetapi kita harus kritis dengan tindakan pemerintah dalam mempersepsikan tentang keberadaan Ormas radikal ini. Jangan sampai upaya penindakan terhadap organisasi radikal adalah bagian dari rencana  besar untuk menumpulkan gerakan massa yang  merupakan bagian dari demokrasi.
    Bagi kehidupan demokrasi, keberadaan organisasi yang hanya menekankan pada analisa sempit dengan didasari pada anggapan bahwa kelompoknya yang benar adalah sangat berbahaya, apa lagi kalau cara mewujudkan ‘kebenaran’-nya dilakukan dengan cara kekerasan dan anarkisme.
    Organisasi massa seperti itu memang sudah tak lagi relevan dalam masyarakat modern, juga tidak memiliki efek pencerahan (enlighting effect) bagi masyarakat yang semakin hari kesadarannya semakin apatis melihat nasibnya yang tak juga kunjung berubah.
    Apolitisme dan apatisme masyarakat akan menguntungkan rejim yang berkuasa karena tidak akan mampu mengontrol kebijakan yang merugikan rakyat.
    Bahkan rakyat akan menurut saja ketika pemerintahan semakin memundurkan dan menghancurkan bangsa untuk kekayaan mereka sendiri dengan cara bekerja sama dengan modal asing. Radikalisasi massa sebagai takdir sejarah kadang tidak bisa dihindari.
    Tetapi seharusnya bukan dalam bentuk gerakan yang memperjuangkan kelompok dengan klaim-klaim ideologis yang sempit dan berdasarkan kelompok (keagamaan, kesukuan, dll), tetapi yang disandarkan  pada perjuangan untuk menuntut kesejahteraan dan melawan penindasan kekuasaan.
    Dalam sebuah epos sejarah masyarakat, gerakan massa radikal yang melibatkan massa besar dengan tuntutan maju, yang dapat memobilisasi massa dengan kesadaran  yang maju dan menginginkan perubahan yang mendasar, kadang tak terelakkan.
    Kita kembali dapat belajar dari kasus kenapa Soeharto jatuh di tahun 1998. Awalnya  dimulai  oleh gerakan radikal, yaitu yang ingin perubahan mendasar (radical change), tetapi gagal.
    Gagal karena oknum-oknum organisasi radikal yang hanya ingin memperjuangkan kelompoknya sendiri. Gagal karena gerakan organisasi itu memanipulasi kesadaran massa yang sudah maju, dimundurkan lagi ke kesadaran sentimental keagamaan, kesukuan, dan dimanfaatkan oleh kekuatan lama untuk menyelamatkan kekayaannya yang direbut dari rakyat selama 32 tahun.
    Reformasipun hanya membuahkan konflik keberagamaan, kesukuan, dan disintegrasi bangsa.
    Dari kasus dan analisa sejarah seperti itulah seharusnya kita menilai upaya pemerintah untuk menindak organisasi-organisasi radikal. Juga belajar dan waspada pada sejarah yang objektif, radikalisme adalah bagian dari terbukanya ruang demokrasi.
    Tetapi jika yang menonjol  kemudian adalah organisasi dan gerakan yang anti-demokrasi dan bahkan diiringi dengan tindakan bar-bar, maka hal itu memang  harus ditindak tegas.***
Catatan Redaksi : Juga dimuat di Jurnal Nasional.

ARSIP BERITA PILIHAN

  © JATIMNET Online ...Berita Investigasi.Wartawan . Jawa Timur

Ke : HALAMAN UTAMA